Kamis, 30 Juni 2011

Hukum Shalat di Masjid yang ada kuburannya

Juni 12, 2009

Berkaitan dengan permasalahan ini maka perlu dibahas dari dua sisi:
1. Shalat di area pekuburan.
2. Shalat menghadap ke kuburan.
Masalah shalat di atas area pekuburan, hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim (hal. 467): “Para fuqaha telah berbeda pendapat mengenai shalat di area pekuburan, (hukumnya) haram atau makruh? Jika dikatakan haram maka apakah shalatnya tetap sah (meskipun pelakunya berdosa) atau tidak? Yang masyhur di kalangan kami1 bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah (batal).”
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata di dalam kitab yang sama pada hal. 460 berkenaan dengan masjid yang dibangun di atas kuburan2: “Aku tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) tentang dibencinya shalat di masjid tersebut dan menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab kami shalat (tersebut) tidak sah (batal) karena adanya larangan dan laknat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perkara itu.”
Jadi shalat di area pekuburan (tanpa masjid) begitu pula di masjid yang dibangun di atas kuburan hukumnya haram menurut pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah mengikuti pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hazm darinya dan dibenarkan (dirajihkan) oleh Ibnu Hazm. (Lihat Ahkamul Janaiz karya Al-Albani rahimahullah hal. 273-274). Dan pendapat ini dirajihkan (dipilih) pula oleh Syaikhul Islam rahimahullah sebagaimana dalam Al-Ikhtiyarat Al-’Ilmiyyah hal. 25, Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (2/134), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/232-236) dan Syarh Bulughul Maram (kaset).3 Begitu pula Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan batalnya shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan dalam Zadul Ma’ad (3/572) dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam Ijabatus Sail hal. 200.
Para ulama rahimahumullah mengatakan haram dan shalatnya batal berdasarkan 3 dalil:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462-463, Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 270, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/277-278), bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اْلأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

“Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.”
2. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِياَئِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah melaknat Yahudi dan Nashara dikarenakan mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 529) Syaikhul Islam rahimahullah dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462 berkata: “Termasuk di antaranya shalat di pekuburan meskipun tidak ada bangunan masjid di sana, karena hal itu juga masuk dalam kategori menjadikan kuburan sebagai masjid sebagaimana kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha4: “Kalau bukan karena hal itu maka sungguh kuburan Rasulullah akan ditampakkan5, akan tetapi beliau khawatir (takut) kuburannya akan dijadikan masjid.” Dan bukanlah maksud ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pembangunan masjid semata, karena para shahabat radhiallahu ‘anhum tidak akan melakukan pembangunan masjid di sisi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi maksud Aisyah radhiallahu ‘anha adalah kekhawatiran bahwa orang-orang akan melakukan shalat di sisi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap tempat yang dimaksudkan untuk shalat padanya berarti telah dijadikan masjid. Bahkan setiap tempat shalat maka itu dinamakan masjid meskipun tidak ada bangunan masjidnya, sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam6: “Telah dijadikan bumi bagiku sebagai masjid (tempat shalat) dan alat untuk bersuci (dengan tayammum).”
3. Alasan bahwa shalat di area pekuburan dimungkinkan sebagai wasilah yang menyeret kepada penyembahan kuburan atau tasyabbuh (menyerupai) para penyembah kubur.
Kemudian perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara area pekuburan yang penghuni (kuburan)nya baru satu, atau dua, dan seterusnya. Yang jelas kalau suatu area tanah tertentu telah disediakan untuk pekuburan maka jika telah ada satu mayat yang dikuburkan berarti telah menjadi pekuburan. Ini menurut pendapat yang kuat (rajih) yang dipilih oleh Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha (hal. 460) dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/235)7. Dan hukum ini berlaku sama saja selama dia shalat di area pekuburan, baik kuburannya di hadapan orang yang shalat, di sampingnya atau di belakangnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25 dan Syarh Bulughul Maram (kaset).
Begitu pula halnya dengan shalat di masjid yang dibangun di atas satu kuburan atau lebih, sama saja baik kuburannya di depan orang yang shalat atau tidak. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughul Maram (kaset) berkata: “Demikian pula hukumnya kalau suatu masjid dibangun di atas suatu kuburan karena masjid itu masuk dalam kategori area pekuburan, mengingat bahwa ketika kuburannya dalam masjid maka berarti masjid itu telah menjadi tempat pekuburan.
Adapun jika suatu mayat dikuburkan dalam masjid (yang telah dibangun lebih dulu) maka wajib hukumnya untuk membongkar kuburan tersebut kemudian dipindahkan ke pekuburan kaum muslimin dan tidak boleh dibiarkan tetap dalam masjid. Namun shalat di dalam masjid tersebut tetap sah selama kuburannya bukan di depan orang yang shalat, karena jika demikian (kuburannya di depan orang yang shalat –red) maka shalatnya batal.”
Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas bahwa shalat menghadap ke kuburan8 tidak sah merupakan pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni (2/50), Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25, Ibnu Hazm dan ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hazm sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz hal. 273-274. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/247) setelah beliau menegaskan haramnya shalat menghadap ke pekuburan dan pendapat yang mengatakan makruh adalah marjuh (lemah), kemudian beliau berkata: “Kalau dikatakan bahwa shalatnya tidak sah maka sungguh sisi kebenarannya kuat, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits Abi Martsad Al-Ghanawi radhiallahu ‘anhu:

لاَ تَجْلِسُوْا عَلىَ الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan haramnya shalat menghadap ke area pekuburan atau ke kuburan-kuburan atau ke satu kuburan (sekalipun). Dan juga karena alasan dilarangnya shalat di area pekuburan terdapat pula pada shalat menghadap ke kuburan. Maka selama seseorang masuk dalam kategori shalat menghadap ke kuburan atau ke area pekuburan berarti dia telah masuk dalam larangan. Jika demikian maka shalatnya tidak sah berdasarkan hadits (di atas): “Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan.” Jadi larangan menghadap ke kuburan khusus ketika shalat, maka barangsiapa shalat menghadap ke kuburan berarti terkumpul pada amalannya antara ketaatan dan maksiat, dan tidak mungkin seseorang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara demikian.
Jika ditanyakan apa yang dianggap batas pemisah antara dia dengan kuburan? Kami katakan: Dinding merupakan pemisah, kecuali jika itu dinding pekuburan maka ada sedikit keraguan dengannya. Namun jika ada dinding lain yang memisahkan antara kamu dan pekuburan maka tidak ada keraguan lagi bahwa itu tidak masuk dalam larangan. Demikian pula jika antara kamu dan pekuburan ada jalan, atau antara kamu dan pekuburan ada jarak pemisah, yang sebagian ulama menyatakan seperti jaraknya pembatas shalat. Berdasarkan ini berarti jaraknya dekat. Namun ini tetap menyisakan keraguan, karena seseorang yang melihat engkau shalat sementara di depanmu ada pekuburan sejarak 3 hasta tanpa dinding pemisah, dia akan menyangka engkau shalat menghadap ke kuburan. Jika demikian berarti butuh jarak yang cukup, yang dengannya diketahui bahwa engkau shalat tidak menghadap ke kuburan.”
Jika demikian maka apabila ada masjid yang dikelilingi oleh kuburan dari luar dinding masjid (termasuk di depannya) maka shalat di dalamnya sah, dan hal ini telah ditegaskan oleh Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hal. 200. Sementara itu sebagian ulama Hanabilah dan dinukilkan dari Al-Imam Ahmad (berpendapat) bahwa tidak boleh shalat di masjid yang di depannya ada kuburan hingga ada dinding lain selain dinding masjid sebagai pemisah (lihat Al-Ikhtiyarat hal. 20). Dengan demikian, sebaiknya menghindari shalat di masjid tersebut jika ada masjid lain, meskipun shalat di situ tetap sah sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahumallah.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Maksudnya kalangan fuqaha Hanabilah (pengikut madzhab Al-Imam Ahmad).
2 Dalam arti kuburannya di dalam masjid.
3 Syarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang akan disebutkan nanti.
4 Setelah Aisyah radhiallahu ‘anha meriwayatkan hadits di atas: “Allah melaknat …. dst.”
5 Artinya beliau akan dikuburkan di luar rumah, di pekuburan Baqi’ misalnya, bersama para shahabat radhiallahu ‘anhum. Lihat Al-Qaulul Mufid syarah Kitabut Tauhid (1/347) karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah.
6 HR. Al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 520 dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
7 Karena ada sebagian ulama menganggap bahwa yang dilarang adalah bila sudah ada 3 kuburan atau lebih.
8 Dalam arti dia di luar area pekuburan.

Kamis, 23 Juni 2011

JALAN KU

pERBAIKILAH HATIMU, WAHAI SAUDARAKU!

2010-08-21 17:27

Oleh: Syaikh Muhammad Bin Abdullah Al Imamhafizhahullah

Segala puji bagi Allah dan aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga sholawat dan salam senantiasa Allah curahkan kepadanya, kepada keluarganya dan para sahabatnya.

Semoga Allah terima kebaikan ayahanda kami Al ‘Allaamah Syaikh Robi’ Al Madkholiy atas nasehat yang telah beliau sampaikan, yang nasehat tersebut menunjukkan semangat besar beliau atas kaum muslimin secara umum dan atas saudara-saudara beliau para ahlus sunnah secara khusus. Dalam nasehat ini, beliau telah mengingatkan kita dengan nasehat ayahanda dan syaikh kita Al ‘Allaamah Al Waadi`iy semoga Allah merahmati beliau. Beliau dahulu seringkali berwasiat dengan keikhlasan untuk Allah. Beliau pernah berkata:

“Sesungguhnya kita lebih mengkhawatirkan (perlakuan buruk) dari diri kita sendiri terhadap dakwah ini, daripada (perlakuan buruk) dari orang lain terhadapnya”.

Maka wasiat-wasiat ahlul ilmi dan nasehat-nasehat mereka, haruslah senantiasa dijadikan pelajaran, diterima, dicamkan sungguh-sungguh dan dilaksanakan. Maka perkataan Syaikh kita Al Waadi’iy -semoga Allah merahmati beliau-:

“Sesungguhnya kita lebih mengkhawatirkan (perlakuan buruk) dari diri kita sendiri”

Ini adalah perkara penting. Yaitu agar kita semua tahu bahwakesalahan-kesalahan kita dan pelanggaran-pelanggaran kita lebih membahayakan dakwah kita daripada apa yang diperbuat oleh para lawan terhadapnya di sekian banyak kesempatan.

Kalau pelanggaran-pelanggaran ini dipertahankan oleh para pelakunya secara bersikukuh, dengan memberikan sanggahan dan melontarkan bantahan.

Maka wahai para ikhwah, aku ajak diriku dan saudara-saudaraku -semoga Allah menjaga mereka- untuk memberi perhatian terhadap perbaikan qalbu-qalbu kita.

Modal kita adalah qalbu-qalbu kita. Kalau baik qalbu-qalbu ini, maka bergembiralah. Dan hendaknya kita meneladani orang-orang yang paling baik dan paling mulia setelah para Nabi dan Rasul, yaitu para Sahabatrodhiyallaahu’anhum. Para Sahabat, qalbu-qalbu mereka dipenuhi kebaikan. Sehingga ketika turun firman Allah:

لله ما في السموات وما الأرض وإن تبدوا ما في أنفسكم أو تخفوه يحاسبكم به الله

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu…”(Q.S.2:284)

Mereka langsung menemui Rasulullahshollallahu’alayhiwasallamdan berlutut serta berkata: “Wahai Rasulullah, telah Allah turunkan ayat ini kepadamu, maka kami tidak dapat menyanggupinya!”

Padahal dalam ayat itu tidak ada amalan-amalan zohir! Di dalamnya tidak ada kewajiban-kewajiban baru untuk amalan-amalan zohir. Dalam ayat itu hanya diterangkan bahwa Allah akan menghisab para hamba atas apa yang ada dalam qalbu mereka. Allah akan menghisab mereka atas apa yang terdapat dalam qalbu mereka.

Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami diperintah untuk berjihad, maka kami berjihad. Kami diperintah untuk bershodaqoh, maka kami bershodaqoh. Kami diperintah untuk berhijrah, maka kami berhijrah. Akan tetapi kami tidak dapat menyanggupi ayat ini.

Ini adalah salah satu tanda kefaqihan mereka, kejujuran mereka dan keikhlasan mereka, yaitumereka ingin qalbu-qalbu mereka diridhoi oleh Allah.

Maka Rasulullahshollallaahu’alayhiwasallamberkata: “Apakah kalian hendak mengatakan seperti yang dikatakan oleh Orang-orang Yahudi dan Nasrani: (kami mendengar dan kami bangkang). Katakanlah: (kami mendengar dan kami taati)”.

Mereka pun berkata: “Kami dengar dan kami taati”. Maka Allah menurunkan ayat “Rasul telah beriman.. (hingga akhir ayat)” (Q.S.2:285). Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim.

Poinnya adalah bahwa para Sahabat senantiasa khawatir atas kejelekan-kejelekan qalbu, kerusakan-kerusakan qalbu dan penyakit-penyakitnya.

Siapakah orang yang selamat qalbunya?

Ketika turun firman Allah:

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّن بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الآخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنكُمْ وَاللّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa’at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai . Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema’afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.”(Q.S.3:152)

Ibnu Mas’ud berkata:“Demi Allah, aku tidak pernah tahu bahwa ada seseorang yang menginginkan dunia sampai turunnya ayat ini”. Karena mereka berjihad di jalan Allah. Orang-orang Muhajirin dan Anshorrodhiyallaahu’anhum:

Orang-orang Muhajirin: mereka telah meninggalkan tanah kelahiran, sahabat, anak-anak, harta benda, dan mereka berhijrah demi Allah dan Rasul-Nyashollallaahu’alayhiwasallam.

Orang-orang Anshor: mereka telah membela Allah dan membela Rasul-Nya, mereka mengerahkan harta benda mereka, mempersiapkan diri dan bersemangat untuk berjihad, berdakwah, mengajar dan sebagainya. Lalu turun ayat ini:

مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآخِرَةَ

“..Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat..” (Q.S.3:152)

Maksudnya adalah bahwa asal kesalahan yang terjadi itu adalah sikap menginginkan dunia. Dan yang dimaksud dengan“menghendaki dunia” di sini adalah “ghonimah”(harta rampasan perang). Yang dimaksud dengan“menghendaki dunia” bukan menghendaki dunia secara terus menerus seperti yang sedang terjadi saat ini!

Kalau kita periksa qalbu-qalbu kita, apa yang akan kita temukan?!!

Apa yang akan kita temukan di dalamnya?!!

Dari hal-hal yang kalau kita paparkan dalil-dalil tentang hal-hal tersebut, maka kita akan tahu bahwa qalbu-qalbu kita perlu diselamatkan! Perlu diperbaikin! Perlu diperiksa ada apa di dalamnya!

Berkata Al ‘Allaamah Ibnul Jawziy -semoga Allah merahmatinya-:Orang yang tersandung di jalan itu tidak lain adalah orang yang belum mengikhlaskan amalnya untuk Allah”.

Engkau lihat salah seorang dari kita, ada yang telah menempuh jarak sedemikian jauh dalam kebaikan, ia selalu bersegera kepada kebaikan, bersemangat di dalamnya dan giat terhadapnya, namun setelah itu engkau melihat kemunduran dan kelalaian padanya yang membuatmu merasa aneh! Padahal kita tahu bahwa setiapkali seseorang berusaha melaksanakan ketaatan, Allah akan mengganjarnya dengan semakin besarnya kecintaannya, pengagungannya dan ketekunannya serta kekonsistenannya atas kebaikan tersebut. Kita baca firman Allah:

والذين اهتدوا زادهم هدى

“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka” (Q.S.47:17)

Maka melaksanakan suatu ibadah dan ketaatan merupakan bagian dari petunjuk yang akan Allah tambahkan petunjuk-Nya kepada orang yang taat. Akan tetapi sebagaimana yang telah kalian dengar,perhatian kita untuk memperbaiki qalbu adalah suatu perkara yang sangat penting.
Jangan kau tanyakan perihal qalbumu kecuali kepada dirimu sendiri.

Lihatlah, di manakah engkau?

Lihatlah, di manakah engkau?

Oleh karena itu, telah datang suatu riwayat di dalam Shahih Bukhori dan Muslim, dari hadis Abu Huroiroh, bahwa Rasulullahshollallahu’alayhiwasallambersabda:

“Ada salah seorang nabi yang berperang. Lalu ia berkata kepada kaumnya: “Jangan ikut aku orang yang sudah beristri dan ingin bermalam bersamanya tapi belum bermalam dengannya sampai sekarang, dan orang yang telah membangun rumah namun belum memasang atapnya, dan orang yang telah membeli kambing atau ternak betina yang sedang hamil dan dia sedang menunggu ternaknya itu beranak..” al hadis.

Nabi ini tidak menerima orang yang di hatinya ada keterpautan dengan perkara-perkara dunia karena ditakutkan dengan sebab kesibukannya dan keterpautan hatinya atas perkara-perkara itu, ia menjadi tidak ikhlas kepada Allah dan tidak bersungguh-sungguh serta tidak sabar berjihad di jalan Allah, dan akan selalu menunggu-nunggu kapan ia bisa pulang kembali kepada perkara-perkara duniawinya itu!

Maka salah satu sebab penyakit hati adalah cinta dunia, cinta dunia. Maka wahai saudara-saudaraku, (cinta dunia itu) adalah salah satu malapetaka dan penyakit berbahaya.

Masing-masing kita memiliki naluri, kita telah dijadikan dan diciptakan dalam keadaan cenderung kepada cinta dunia. Dan tidak ada orang yang bisa menghindari ini dan bisa selamat kecuali sebesar usahanya memperbaiki qalbunya dan memerangi nafsunya, dan dengan melihat di manakah ia dalam memperbaiki qalbunya?

Di manakah ia dalam memperbaiki qalbunya?

Kalau qalbu ini tidak dipenuhi dengan kebaikan, dengan takut kepada Allah, dengan ikhlas kepada Allah dan bersungguh-sungguh bersama Allah, ia akan dipenuhi dengan fitnah dan penyakit.

Berkata Ibnul Jawziy -semoga Allah merahmatinya-: “Azh Zhulmu (kezoliman) itu dinamai dengan zhulmun, karena ia dari zhulmatul qolbi (kegelapan qalbu). Karena qalbu yang terang itu tidak akan menerima kegelapan. Dan kalau ia tidak terang, ia menjadi gelap dan darinyalah kezoliman itu datang”.

Maka qalbu itu membutuhkan cahaya, makanan, kesembuhan dan itulah makanannya yang telah Allah pilihkan dan telah Ia turunkan sebagai rahmat dari-Nya kepada kita dan sebagai inayah untuk memberi kita hidayah dan tawfiq.

Cahaya qalbu, makanannya, kesembuhannya dan obatnya terdapat dalam Al Quran Al Karim dan As Sunnah Al Muthohharoh.

Apakah kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu?!! Ilmu syar’iy?!!
Ilmu itu adalah cahaya yang lebih terang dari cahaya matahari dan bulan. Maka janganlah kita menyia-nyiakan diri kita dan hidup tanpa dibarengi dengan belajar, tanpa halqoh ilmu, tanpa berinteraksi dengan Al Quran. Belajar, mengajar, mengkaji, memberi nasehat kepada orang banyak, berdakwah dan mengajak kepada Allah ‘azza wa jalla. Kalau tugas kita tidak sedemikian, dengan sungguh-sungguh, tekad yang kuat, kesabaran dan kerelaan serta kesadaran, maka kita akan hancur dan hancurlah dakwah kita serta hancurlah ukhuwah kita. Berkata Syaikh kita Al Waadi’iy: “Ahlus Sunnah itu banyak, namun mereka berpencar. Mereka tidak saling mencari dan tidak saling berkenalan!” Ini adalah salah satu dari sejumlah kesalahan dan kelalaian yang ada pada kita.

Oleh karena itu wahai ikhwah sekalian, pembicaraan ini bisa melebar ke mana-mana. Maka singkatnya: nasehat ayahanda kita Syaikh Robi’ semoga Allah menjaganya: ikhlas kepada Allah. Dan betapa indahnya apa yang beliau katakan itu. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Dan demikian pulalah hendaknya orang-orang yang tulus itu memberikan nasehatnya.
Berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nyashollallaahu’alayhiwasallam. Ini merupakan -sebagaimana yang kalian ketahui- sebuah prinsip agung yang tidak ada yang dapat melaksanakannya kecuali Ahlus Sunnah.

Adapun selain Ahlus Sunnah, maka mereka adalah orang-orang yang berusaha untuk menghancurkan prinsip ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad -semoga Allah merahmatinya-: “Para ahli bid’ah itu berselisihpendapat, menyelisihi Al Quran dan bersepakat untuk menyelisihi Al Quran”.

Berpegang teguh dengan Al Kitab dan As Sunnah itu tidak akan diwujudkan kecuali oleh orang yang meridhoi Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammadshollallahu’alayhiwasallamsebagai Rasul dan Nabinya‘alayhishsholaatuwassallaam. Barangsiapa yang menghendaki Allah dan tidak menginginkan dunia, dan barangsiapa yang mengasihi hamba-hamba Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah semoga Allah merahmatinya:“Ahlus Sunnah itu golongan yang paling memahami kebenaran dan yang paling mengasihi orang banyak”,

Maka rasa kasih itu akan datang ketika kita belajar, berbekal dengan ilmu, dan berupaya memberikan nasehat dan bimbingan kepada orang banyak. Umat ini dan orang banyak sedang membutuhkan nasehat dan pengajaran. Dan sebagaimana yang kalian ketahui, baarokallaahu fiikum, bahwa dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Dakwah Salafiyyah, telah Allah jadikan bermanfaat untuk orang banyak di timur maupun di barat. Dan bahwa ia pada masa sekarang ini, telah tumbuh dari negeri ini (Saudi), dan semoga Allah menjadikan negri ini bermanfaat untuk orang banyak di timur ataupun di barat. Oleh karena itu aku nasehatkan kepada para ulama dan para da’i -walaupun aku sebenarnya adalah orang yang paling membutuhkan nasehat, tapi tidak ada halangan untuk kami ingatkan- maka aku nasehatkan kepada para ulama di negeri ini, aku maksudkan para ulama Ahlus Sunnah, dan kepada para da’i serta para penuntut ilmu untuk terus melanjutkan penyebaran dakwah yang dengannya Allah telah memuliakan kalian, sebagai dakwah yang murni dan bersih. Bukan hizbiyyah, bukan paham ketimuran, bukan paham kebaratan, dan juga bukan bid’ah. Akan tetapiberpegang teguh dengan Al Kitab dan As Sunnah. Dan tanpa mengoyak, tanpa mengganti, tanpa merubah. Akan tetapi dengan ittiba’, berpegang teguh dan meneladani serta berpegang erat denganminhaj nubuwwah.

Kita mohonkan kepada Allah dengan karunia dan kemurahan-Nya, agar Ia menambahkan hidayah, ketakwaan kepada kita, dan agar Ia memperbaiki qalbu-qalbu kita serta agar Ia senantiasa menjaga ukhuwah kita dalam agama ini. Dan tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Allah Tuhan semesta alam.